Rabu, 03 Agustus 2011

PERDA PENUTUPAN SILIR

 “ORGANISASI & MANAJEMEN PUBLIK”
YITNO PUGUH MARTOMO


ANALISIS KEBIJAKAN TENTANG
FORMULASI, IMPLEMENTASI & EVALUASI
PERATURAN DAERAH PENUTUPAN RESOSIALISASI SILIR

A.    Pendahuluan

Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif bila dampaknya dirasakan positif, yaitu suatu kondisi di mana kebijakan publik tersebut sesuai dengan keinginan dan bermanfaat bagi masyarakat. Di samping itu tentu saja juga ada dampak negatifnya yaitu dalam setiap kebijakan tentu ada pihak-pihak yang dirugikan, masalah timbul ketika pihak yang dirugikan tersebut mendominasi atau semakin dirasakan oleh  sebagian besar anggota masyarakat baik untuk kondisi sekarang maupun yang akan datang.
Sebuah kebijakan publik pada dasarnya diambil berkaitan dengan upaya untuk memecahkan suatu masalah, bukan sebaliknya justru akan menimbulkan masalah baru (Riant Nugroho, 2003:83). Kebijakan penutupan resosialisasi silir dimaksudkan untuk  mengembalikan image kota solo sebagai kota yang bersih dan lebih bermoral disamping tujuan-tujuan lain, dengan kata lain kebijakan tersebut diambil berkaitan dengan masalah moral yang apabila tidak segera diambil suatu langkah dikemudian hari dapat menimbulkan akibat yang lebih parah terutama bagi generasi yang akan datang.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah kebijakan penutupan resosialisasi silir berdampak positif bagi masyarakat atau sebaliknya justru menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat.

B.     Pembahasan Masalah

Dari uraian di atas kebijakan penutupan resosialisasi silir ternyata berdampak negatif dimana realitasnya masalah baru bermunculan. Hasil penelitian  P3G Lemlit UNS (Ismi DAN dkk, 2000) menunjukkan dampak sosial ekonomi yang luar biasa di mana para PSK tidak berhenti menjalankan profesinya akan tetapi justru dengan leluasa berpraktik di tempat lain (hotel, panti pijat, penampungan, mangkal di ruang publik <terminal, stasiun, taman>) dengan jam dinas yang lebih leluasa. Dengan kebebasan tersebut tentu mereka akan sulit dikendalikan, misalnya jika di silir secara rutin mendapat penyuntikan di tempat baru hal tersebut tidak dilakukan sehingga akan dapat menyebabkan menyebarnya penyakit kelamin menular bahkan HIV yang tentu saja sangat meresahkan masyarakat. 
Berdasar catatan kuliah (Priyo Sudibyo, 19/12/03) Kebijakan yang tidak efektif biasanya disebabkan oleh tiga faktor berikut : bad execution, bad policy ang bad luck. Menurut penulis dampak negatif kebijakan ini lebih disebabkan pada proses formulasi yang kurang komprehensif (bad policy) dan juga pelaksanaan yang kurang optimal (bad execution).
Formulasi yang kurang komprehensif (bad policy) dapat kita lihat dari kurangnya antipasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, seperti tidak dipersiapkannya mereka untuk kembali ke masyarakat dengan dibekali terlebih dahulu dengan ketrampilan untuk alih profesi yang lebih terhormat, pemberian uang pesangon yang sangat minim sehingga tidak memungkinkan untuk tambahan modal berwiraswasta, masih utuhnya lokasi lama beserta pemiliknya (mantan mucikarinya) memungkinkan mereka kembali dan lain sebagainya.
Pelaksanaan yang kurang optimal (bad execution) di mana dalam implementasi terdapat penyimpangan-penyimpangan seperti tidak sampainya secara utuh uang pesangon yang diterimakan, tidak ada sistem kontrol yang baik sehingga selain mereka pindah tempat praktek ke tempat lain ternyata tidak sedikit mereka yang kembali ke silir untuk berpraktek (tanpa ijin praktek).
Keberhasilan kebijakan dapat dikaji dari dua prespektif yang berbeda (Agus Dwiyanto, Makalah Pelatihan Analisis Kebijakan Sosial II 1994) yaitu dari tinjauan implementasi dan outcome. Prespektif implementasi menekankan pada konsistensi antara pelaksanaan dengan ketentuan yang ditetapkan, sedangkan prespektif outcome suatu kebikjakan dapat dinilai berhasil kalau menghasilkan dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin berhasil ditingkat implementasi akan tetapi gagal ditinjau dari dampak yang diharapkan, begitu pula sebaliknya. Dalam kasus penutupan silir jelas dampak moralitas yang diinginkan tidak tercapai secara optimal karena secara realitas di kota solo menjamur tempat-tempat prostitusi pasca penutupan silir, dengan kata lain dari prespektif outcomepun dampak yang diinginkan tidak sesuai justru permasalahan baru timbul dengan pindahnya mereka ke tempat-tempat praktek baru seperti telah diuraikan di atas.
C.  Rekomendasi
Dalam siklus kebijakan (William N. Dunn, 2003 : 25) digambarkan bahwa terjadi proses yang tidak putus mulai dari perumusan masalah – formulasi – implementasi – evaluasi – kembali ke perumusan masalah, artinya dimungkinkan dirumuskannya masalah baru apabila hasil penilaian (evaluasi) ditemukan ketidak efektifan kebijakan. Dalam kontek penutupan silir apabila hasil evaluasi menunjukan ketidak sesuaian hasil dengan yang diinginkan tidak menutup kemungkinan untuk diformulasikan kebijakan baru yang lebih prespektif tentu saja dengan upaya optimal agar ketidak efektifan kebijakan tidak terulang kembali.
Ada beberapa alternatif dirumuskankannya kebijakan baru tersebut, salah satunya yang paling ideal menurut penulis adalah membuka resosialisasi baru dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi misalnya : lokasi yang terpencil (terisolasi), dirancang sistem yang memadai di dalamnya terdapat kontrol kesehatan, kontrol keamanan  dan yang lebih penting adalah ada pembinaan berupa upaya menyipakan mereka untuk berprofesi lain yang lebih layak sehingga memungkinkan mereka kembali ke masyarakat. Dan yang lebih penting adalah diikuti oleh kebijakan yang lain yang terkait misalnya dengan mengeluarkan kebijakan bahwa praktek prostitusi di luar resosialisasi resmi tidak diperbolehkan dengan disertai tindakan yang tegas bagi mereka yang melanggarnya, hal tersebut sesuai dengan konsep (Solichin Abdul Wahab,2002:6)  bahwa kebijakan pada hakikatnya merupakan tindakan-tindakan yang terjkait dan berpola dan bukan keputusan yang berdiri sendiri-sendiri. Kalau kita mau jujur dengan menoleh pada kebijakan daerah lain seperti Pemkot Surabaya dengan Dolly yang dikelola sedemikian rupa sehingga secara ekonomis sangat menguntungkan, bahkan dinamika Dolly (diluar transaksi seksual) dapat menghidupi  masyarakat sekitar dengan menyediakan banyak lapangan kerja mulai dari tukang parkir, loundry, warung dan sebagainya (Trans TV, 15/12/2003).
Alternatif tersebut tentu saja tidak mudah dilakukan karena akan menimbulkan kontra terutama dari golongan kelompok agama, yang diperlukan disini adalah  bagaimana komunikasi/sosialisasi yang efektif di mana harus ditumbuhkan pemahaman dan semua pihak diajak untuk berpikir dampak yang dapat ditimbulkan dari sebuah kebijakan. Komunikasi menjadi sangat penting ketika message yang disampaikan sarat nilai (Anderson dalam M.Irfan Islami, 2003:109) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan sebagai suatu yang logis, perlu dan adil disamping diyakinkan bahwa kebijakan diambil oleh lembaga yang sah/konstitusional serta melalui prosedur yang benar. Sedangkan penolakan akan datang dari interest group yang tentu saja menganggap tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yaitu melegetimasi sebuah kemaksiatan.
Yang perlu dicermati pula sebuah resosialisasi (komplek pelacuran) pada umumnya aktivitas yang terjadi tidak hanya teransaksi seksual saja akan tetapi sarat dengan aktivitas yang masuk dalam kriteria penyakit masyarakat seperti perjudian, miras, narkoba bahkan disinyalir digunakan sebagai persembunyian pelaku kriminalitas. Oleh sebab itu apa bila alternatif yang dipilih adalah pembukaan resosialisasi baru maka masalah tersebut harus diperhatikan dengan serius.
D.  Kesimpulan
 Penutupan resosialisasi silir berdampak negatif bagi masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan akibat dari bad policy dan bad implementation. Diperlukan formulasi baru, salah satu alternatifnya adalah dengan membuka resosialisasi baru dengan perayaratan tertentu ditinjau dari aspek lokasi, sistem dan control.
Dalam formulasi jika alternatif tersebut dipilh maka sebelum diimplementasikan harus dikomunikasikan dengan baik sehingga tidak menimbulkan gejolak dengan message yang syarat dengan nilai yang di dalamnya terdapat pemikiran untung rugi baik secara ekonomis maupun sosial serta mencakup pembinaan dengan membekali berbagai ketrampilan agar mereka siap jika kembali ke masyarakat..

E.   DAFTAR PUSTAKA
1.      Anderson, 1984, Public Policymaking, New York : Holt, Renehart and Winston.
2.      Hesel Nogi S. Tangkilan, 2003, Kebijakan Publik Yang Membumi, Yogyakarta, Lukman Offset.
3.      M. Irfan Islamy, 2003, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta, Bumi Aksara.
4.      Priyo Sudibyo, 2003, Catatan Kuliah : Kebijakan Publik, Program Magisten Andiministrasi UNS.
5.      Riant Nugroho, 2003, Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakarta, Gramedia.
6.      Solichin Abdul Wahab, 2002, Analisis Kebijaksanaan, Jakarta, Bumi Aksara.
7.      William N. Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada University Perss.  




1 komentar: