Rabu, 03 Agustus 2011

MELEMAHNYA KONTROL PEMERINTAH

PENGARUH MELEMAHNYA KONTROL PEMERINTAH TERHADAP MENINGKATNYA KECELAKAAN LALU LINTAS

Oleh : Yitno Puguh Martomo

Akhir-akhir ini sering kita lihat, kita dengar dan kita baca dari beberapa media massa begitu seringnya peristiwa kecelakan yang mengerikan dan merengut puluhan nyawa manusia. Mulai dari tabrakan kereta api, tenggelamnya ferry, kecelakaan Situbondo yang mengakibatkan limapuluhan siswa dan guru SMK Yapemda Sleman meninggal dan yang terakhir di depan mata kita sebuah bus menyeruduk beberapa pengendara sepeda motor yang tidak berdosa yang sedang berhenti karena lampu merah di daerah Kartasura. Hal tersebut baik secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama mereka yang akan melakukan perjalanan, rasa kawatir dan was-was akan membayangi mereka dengan kata lain terjadi ketidak nyamanan masyarakat (unfreshness public).
Yang menarik kita bahas adalah statement pejabat publik dalam hal ini menteri perhubungan bahwa faktor utama terjadinya peristiwa tersebut adalah “human eror” (Kompas, 19 Oktober 2003). Menjadi tanda tanya besar kemudian adalah human (manusia) yang mana yang menjadi penyebab utama, karena dalam peristiwa-peristiwa tersebut banyak aktor yang terlibat. Pertama adalah manusia yang mengoperasionalkan alat transportasi tersebut, sebagai aktor yang bertanggung jawab langsung terhadap keselamatan penumpangnya. Kedua adalah aktor yang bertanggung jawab atas pengendalian terhadap mereka yang memanfaatkan sarana taransportasi dalam hal ini adalah aparat pemerintah, lebih fokus lagi adalah DLLAJR dan Polisi Lalu Lintas.
Para aktor tersebut memegang peran yang sangat penting dalam menciptakan keamanan dan keselamatan lalu lintas, akan tetapi kalau kita amati maka sebetulnya para aktor pengendali dalam hal ini aparatur pemerintah seperti yang telah diurakan di atas yang sebetulnya mempunyai peran strategis. Sebagai ilustrasi sebuah prosedur seorang aktor yang akan menjalankan sebuah alat transportasi tentu saja harus memenuhi persyaratan tertentu, misalnya ia harus memiliki SIM B1 umum yang cara memperolehnya berbeda dengan SIM biasa. Manakala prosedur awal tersebut diterapkan dengan baik oleh aktor pengendali maka tentu saja akan diperoleh para pengemudi yang berkualitas, sebaliknya apabila prosedur awal tersebut menyimpang maka yang terjadi adalah para pengemudi yang kurang berkualitas misalnya mereka yang tidak mempunyai disiplin berlalu lintas sehingga cenderung untuk melakukan pelanggaran.
Dari uraian singkat di atas ada sisi yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah “disiplin” dan “pelanggaran”, kata orang bijak awal mula terjadinya kecelakaan dimulai dari sebuah pelanggaran dengan kata lain apabila pengguna sarana transportasi berdisiplin tinggi dan tidak melakukan pelanggaran maka kecelakaan bisa dihindari. Menjadi fenomena menarik bahwa di lapangan justru pelanggaran tersebut terkadang menjadi obyek dari para aktor pengendali untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan menjadi rahasia lagi kalau pelanggaran dapat diselesaikan dengan “damai”. Yang mengkhawatirkan adalah apabila “damai” tersebut menyentuh hal yang paling prinsip, misalnya kendaraan yang sudah tidak layak untuk melayani transportasi publik yang seharusnya tidak lolos dalam uji fisik (keur) karena ada “damai” tadi kemudian diloloskan atau sebuah fery yang maksimal hanya mampu mengangkut sekain orang karena ada “damai” maka diperbolehkan mengangkut penumpang melebihi kapasitasnya atau yang lebih ekstrim lagi adalah seseorang yang tidak layak menjalankan sarana trasnportasi publik diberikan lisensi dan sebaginya.
Ilustrasi di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa melemahnya kontrol yang seharusnya diberikan pada akhirnya berakibat pada  kecenderungan terjadinya pelanggaran, padahal kita sepakat bahwa pelanggaran tersebut awal terjadinya sebuah kecelakaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar